(Progresif) Tanggamus—Melihatnya bukan dengan besarnya baliho yang dipajang di ujung kampung, bukan besarnya gardu tempat berkumpul para relawan, bukan pula kepandaiannya mengolah kata-kata pada saat berpidato, Bahkan jangan terlena dengan lambaian tangannya ketika berada di tengah-tengah masyarakat. Bukan pula senyum sumringahnya yang mampu membuat masyarakat terlena dan bahkan terpukau. Lalu bagaimana membaca kualitas para calon?
Pertama, Bagaimana sepak terjangnya di dunia Pemerintahan maupun birokrasi serta kepekaannya kepada urusan-urusan sosial kemasyarakatan, Bagaimana hubungannya dengan banyak pihak, Baik di level pemerintahan, Hal ini menjadi salah satu tolak ukur untuk melihat kualitas serta kompetensi yang di miliki oleh para calon, Sebab, apa yang menjadi karakter seseorang saat ini adalah buah dari proses masa lalu yang sangat panjang. Karakter itu terbentuk bukan semudah membalikkan telapak tangan.
Namun sebaliknya, jika ada calon daerah, tiba-tiba baik, tersenyum, sok merakyat Maka, itu menjadi alarm bagi masyarakat khususnya Masyarakat Tanggamus bahwa jika kelak dia terpilih maka siap-siap menelan kekecewaan. Jangan pernah menaruh harapan yang lebih pada calon seperti ini, sebab kata orang bijak “jika suatu pekerjaan diberikan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran”.
Calon kepala daerah yang diperkenalkan oleh para relawan, hampir mendekati kata sempurna. Sosoknya dicitrakan seolah dewa penyelamat yang akan hadir setiap masalah yang mendera masyarakat banyak. Rela memaksimalkan semua potensi yang ada, agar jagoannya bisa terpilih. Bahkan tidak sedikit relawan berbohong, memberikan janji yang belum tentu terucap oleh calon kepala daerah yang mereka usung.
Maka, sebagai masyarakat Tanggamus, perlu mengetahui dan memahami semua yang berkenaan dengan calon yang akan dipilih, agar tidak mudah mempercayai janji kampanye yang sebenarnya hanyalah bualan kosong semata.
Jika pemimpin yang dipilih tidak punya kualitas dengan rekam jejak yang mumpuni, visi misinya tidak jelas, dan hanya melicinkan penguasaan sumber daya alam untuk kaum kapitalis. Maka, hasil pilkada hanya pesta demokrasi yang di peruntungkan bagi kemenangan segelintir orang dan rakyat kembali gigit jari dan hanya bisa bermimpi sebelum pagi menyapa semesta.
Rakyat yang memilih, rakyat pula yang akan merasakan dampak langsung dari pemimpin yang mereka pilih itu Sendiri. (Halimi Jaya)